Senin, 18 November 2013

Asuhan Keperawatan pada Sistem Persarafan dengan Kasus Tetanus



I.     Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

II.1.     PENGKAJIAN
1.    Data Biografi
A.       Identitas klien: nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan, penting untuk mengetahui adanya faktor resiko terhadap timbulnya serangan.
B.       Identitas penanggung jawab: nama, umur jenis, jenis kelamin, alamat, hubungan dengan klien.

2.    Riwayat Kesehatan
A.       Keluhan utama: sering menjadi alasan klien atau orangtua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, penurunan tingkat kesadaran.
B.       Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi penyebab sumber luka.Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih dalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak.
C.       Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami luka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor.
D.       Riwayat penyakit Keluarga
Mengkaji apakah ada keluarga klien yang menderita penyakit seperti yang dialami klien sekarang.

3.    Pengkajian data klien yang berhubungan dengan:
a)    Aktivitas dan istirahat.
Gejala yang timbul biasanya berupa keletihan, keterbatasan dalam beraktivitas dan bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang terdekat atau pemberi asuhan keperawatan.Tandanya perubahan tonus dan kekuatan otot, gerakan involunter atau kontrasi otot.
b)   Sirkulasi.
Gejalanya hipertensi, peningkatan nadi, sianosis atau bisa juga depresi dengan penurunan nadi dan respirasi dan penurunan tanda vital.
c)    Integritas ego.
Gejalanya stressor internal dan eksternal yang berhubungan dengan keadaan atau penanganan, peka rangsangan, perasaan tidak ada harapan atau tidak berdaya, perubahan dalam berhubungan.
d)   Eliminasi.
Gejalanya inkontinensia.Tandanya, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinter dan otot relaksasi yang menyebabkan inkontinensia.
e)    Makanan dan cairan.
Gejalanya sensitive terhadap makanan, mual muntah, yang berhubungan dengan aktivitas kejang. Terjadi hyperplasia dinggival (efek samping pemakaian dilantin jangka panjang).


f)    Neurosensory.
Gejalanya aktivitas berulang, pingsan, pusing, infeksi serebri, dan tandanya karakteristik kejang: prodromal, kejang umum, kejang parsial (kompleks), kejang parsial sederhana.
g)   Nyeri dan kenyamanan.
Gejalanya nyeri otot punggung, sakit kepala.
h)   Pernapasan.
Gejalanya yaitu gigi mengatup, sianosis, pernapasan menurun atau cepat, peningkatan sekresi mucus sampai apnea.
i)     Keamanan.
Adanya riwayat terjatuh atau trauma akibat kejang.
j)     Interaksi sosial.
Masalah dalam hubungan interpersonal, sosial, penghindaran terhadap rangsangan.
k)   Penyuluhan.
Penyuluhan atau pembelajaran berhubungan dengan faktor resiko timbulnya.Kejang yang berulang, penanganan dan hal yang harus dilaporkan.

4.    Pemeriksaan
a.    Sistem pernapasan: dyspnea, aspiksia dan sianosis akibat kontraksi otot pernapasan.
b.    Sistem kardiovaskuler: disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal 38-40oC, terminal 43-44oC.
c.    Sistem neurologis: awalnya iritabiliti, kelemahan, dan akhirnya konvulsi, kelumpuhan 1 atau beberapa saraf otak.
d.   Sistem perkemihan: retensi urin (distensi kandung kemih dan urin output tidak ada/oliguria).
e.    Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.
f.     Sistem integument dan muskuluskeletal: pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, nyeri kesemutan tempat luka, berkeringat (hiperhidrasi), otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.

5.    Pemeriksaan Penunjang
a.    Laboratorium: leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman.
b.    Pemeriksaan ECG: dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler.
c.    Elektrolit: tidak seimbang sebagai pencetus kejang.
d.   Glukosa: hipoglikemia sebagai pencetus kejang.
e.    Ureum atau kreatinin: peningkatannya dapat meningkatkan resiko kejang.


II.2.     DIAGNOSA
1.    Bersihan jalan napas tidak efektif berhubunga dengan adanya secret dalam trakea, kemampuan batuk menurun.
2.    Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan otak.
3.    Resiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap visual, suara, dan taktil).
4.    Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubngan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus.
5.    Resiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat kesadaran.
6.    Ganggguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan adanya kejang berulang.
7.    Gangguan ADL yang berhubungan dengan adanya kejang umum dan kelemahan fisik.
8.    Gangguan pemenuhan eliminasi urin dan alvi yang berhubunga dengan adanya spasme pada abdomen.
9.    Koping tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis penyakit yang tidak jelas.
10.Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang.

II.3.     INTERVENSI
1.    Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubunga dengan adanya secret dalam trakea, kemampuan batuk menurun.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam setela diberikan tindakan bersihan jalan napas kembali efektif.
Kriteria Hasil:
-       klien tidak mengeluh sesak napas lagi.
-       RR normal, 16-20 kali/menit.
-       Tidak menggunakan alat bantu napas.
-       Dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
-       Diharapkan bunyi paru normal (vesikuler)
Intervensi:
1.    Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, penggunaan otot-otot aksesori, warna, dan kekentalan sputum.
Rasional: memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian dungsi pernapasan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostalis dan diafragma yang berkembang dengan cepat.
2.    Atur posisi fowler dan semi-fowler.
Rasional: peninggian kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan meningkatkan batuk lebih efektif.
3.    Ajarkan cara batuk efektif.
Rasional: klien berada pada resiko tinggi bila tidak dapat batuk efektif untuk memebersihkan jalan napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi saliva, dan mencetuskan gagal napas akut.
4.    Lakukan fisioterapi dada: vibrasi dada.
Rasional: terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif.
5.    Penuhi hidrasi cairan oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2500 ml/hari.
Rasional: pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang banyak keluar dari tubuh.
6.    Lakukan pengisapan lendir di jalan napas.
Rasional: pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi bersih.
7.    Berikan oksigen sesuai klinis.
Rasional: pemenuhan oksigen terutama pada klien tetanus dengan laju metabolisme yang tinggi.

2.    Peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksik di jaringan otak.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam peningkatan suhu tubuh menurun,
Kriteria hasil: suhu tubuh normal 36-37oC.

Intervensi:
1.    Monitor suhu tubuh klien.
Rasional: peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus rangsang kejang.
2.    Beri kompres dingin di kepala dan aksila.
Rasional: memberikan respon dingin pada pusat pengatur panas dan pada pembuluh darah besar.
3.    Pertahankan bed rest total selama fase akut.
Rasional: mengurangi peningkatan proses metabolism umum yang terjadi pada klien tetanus.
4.    Kolaborasi pemberian terapi: ATS dan antimikroba.
Rasional: ATS dapat mengurangi dampak toksin tetanus di jaringan otak dan antimoikroba dapat mengurangi inflamasi sekunder dari toksin.

3.    Resiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam resiko kejang berulang tidak terjadi.
Kriteria hasil: klien tidak mengalami kejang.
Intervensi:
1.    Kaji stimulus kejang.
Rasional: stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh.
2.    Hindarkan stimulus cahaya, kalau perlu klien ditempatkan pada ruangan dengan pencahayaan yang kurang.
Rasional: penurunan rangsang cahaya dapat membantu menurunkan stimulus rangsang kejang.
3.    Pertahankan bed rest total selama fase akut.
Rasional: mengurangi resiko jatuh jika vertigo, dan ataksia terjadi.
4.    Kolaborasi pemberian terapi: diazepam, penobarbital.
Rasional: untuk mencegah atau mengurangi kejang.

4.    Resiko gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam nutrisi klien terpenuhi.
Krtiteria hasil: tidak adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam batas normal.
Intervensi:
1.    Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya secret.
Rasional: faktor-faktor tersebut menentukan kemampuan menelan klien dan klien harus dilindungi dari resiko aspirasi.
2.    Berikan pengertian tentang pentingnya nutrisi.
Rasional: agar termotivasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
3.    Auskultasi bowel sounds, amati penurunan atau hiperaktivitas suara bowel.
Rasional: fungsi gastrointestinal tergantung pula pada kerusakan otak, bowel sounds menentukan respon terjadinya komplikasi, misalnya ileus.
4.    Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional: untuk mengevaluasi efektifitas dari asupan makanan.
5.    Berikan makanan dengan cara meninggikan kepala.
Rasional: menurunkan resiko aspirasi.
6.    Bila klien sering kejang berikan makanan lewat NGT.
Rasional: pemenuhan nutrisi dengan langsung memasukkan ke lambung akan menurunkan resiko aspirasi.
7.    Pertahankan lingkungan yang tenang dan anjurkan keluarga untuk memeberikan makanan pada klien.
Rasional: membuat klien merasa aman sehingga asupan dapat dipertahankan.


5.    Resiko cedera berhubungan dengan adanya kejang.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran.
Kriteria hasil: klien tidak mengalami cedera apabila kejang berulang.
Intervensi:
1.    Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan otot-otot muka lainnya.
Rasional: gambaran tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
2.    Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang.
Rasional: mellindungi klien bila kejang terjadi.
3.    Pertahankan bed rest total selama fase akut.
Rasional: mengurangi resiko jatuh jika vertigo.
4.    Kolaborasi pemberian terapi, diazepam, phenobarbital.
Rasional: untuk mencegah atau mengurangi kejang.

6.    Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang berulang.
Tujuan: tidak terjadi kontrasktur, gangguan integritas kulit, footdrop, fungsi bowel dan bladder optimal, serta peningkatan kemampuan fisik.
Kriteria hasil: skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan minimal.
Intervensi:
1.    Review kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi.
Rasional: mengidentifikasi kerusakan fungsi dan menentukan pilihan intervensi.
2.    Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan.
Rasional: tingkat ketergantungan minimal care (hanya memerlukan bantuan minimal), partial care (memerlukan bantuan bagian), dan total care (memerlukan bantuan total dari perawat).
3.    Berikan perubahan posisi yang teratur.
Rasional: perubahan posisi teratur dapat mendistribusikan berat badan secara menyeluruh dan memfasilitasi peredaran darah dan mencegah decubitus.
4.    Berikan latihan ROM pasif jika klien sudah bebas panas dan kejang.
Rasional: mencegah terjadinya kontraktur serta mempercepat pengembalian fungsi tubuh.
5.    Berikan perawatan kulit secara adekuat, lakuakan massage, ganti pakaian klien dan pertahankan tempat tidur dalam keadaan kering.
Rasional: memfasilitasi sirkulasi dan mencegah gangguan integritas kulit.
6.    Berikan perawatan mata, bersihkan mata dan tutup dengan kapas yang basah sesekali.
Rasional: melindungi mata dari kerusakan terbukanya mata terus-menerus.
7.    Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada area kulit.
Rasional: indikasi adanya kerusakan kulit dan deteksi dini adanya decubitus pada area local yang tertekan.

7.    Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang.
Tujuan: kecemasan hilang atau berkurang.
Kriteria hasil: mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.

Intervensi:
1.    Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
Rasional: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan gelisah.
2.    Jelaskan sebab terjadinya kejang.
Rasional: memberikan dasar konsep agar klien kooperatif terhadap tindakan untuk mengurangi kejang.
3.    Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
Rasional: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4.    Tingkatkan control sensasi klien.
Rasional: control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons baik yang positif.
5.    Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
Rasional: orientasi dapat menurunkan kecemasan.
6.    Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
Rasional: dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
7.    Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat.
Rasional: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.