I. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
II.1. PENGKAJIAN
1. Data
Biografi
A. Identitas
klien: nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan, penting untuk
mengetahui adanya faktor resiko terhadap timbulnya serangan.
B. Identitas
penanggung jawab: nama, umur jenis, jenis kelamin, alamat, hubungan dengan
klien.
2. Riwayat
Kesehatan
A. Keluhan
utama: sering menjadi alasan klien atau orangtua membawa anaknya untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, penurunan tingkat
kesadaran.
B. Riwayat
Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit
sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi penyebab sumber luka.Tanyakan
dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh
atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan
pengkajian lebih dalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang
sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya
menurunkan keluhan kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak.
C. Riwayat
Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit
yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami luka dan luka
tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau
luka yang menjadi kotor.
D. Riwayat
penyakit Keluarga
Mengkaji apakah ada
keluarga klien yang menderita penyakit seperti yang dialami klien sekarang.
3. Pengkajian
data klien yang berhubungan dengan:
a) Aktivitas
dan istirahat.
Gejala yang timbul
biasanya berupa keletihan, keterbatasan dalam beraktivitas dan bekerja yang
ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang terdekat atau pemberi asuhan
keperawatan.Tandanya perubahan tonus dan kekuatan otot, gerakan involunter atau
kontrasi otot.
b) Sirkulasi.
Gejalanya hipertensi,
peningkatan nadi, sianosis atau bisa juga depresi dengan penurunan nadi dan
respirasi dan penurunan tanda vital.
c) Integritas
ego.
Gejalanya stressor
internal dan eksternal yang berhubungan dengan keadaan atau penanganan, peka
rangsangan, perasaan tidak ada harapan atau tidak berdaya, perubahan dalam
berhubungan.
d) Eliminasi.
Gejalanya
inkontinensia.Tandanya, peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus spinter dan
otot relaksasi yang menyebabkan inkontinensia.
e) Makanan
dan cairan.
Gejalanya sensitive
terhadap makanan, mual muntah, yang berhubungan dengan aktivitas kejang.
Terjadi hyperplasia dinggival (efek
samping pemakaian dilantin jangka panjang).
f) Neurosensory.
Gejalanya aktivitas
berulang, pingsan, pusing, infeksi serebri, dan tandanya karakteristik kejang:
prodromal, kejang umum, kejang parsial (kompleks), kejang parsial sederhana.
g) Nyeri
dan kenyamanan.
Gejalanya nyeri otot
punggung, sakit kepala.
h) Pernapasan.
Gejalanya yaitu gigi
mengatup, sianosis, pernapasan menurun atau cepat, peningkatan sekresi mucus
sampai apnea.
i) Keamanan.
Adanya riwayat terjatuh
atau trauma akibat kejang.
j) Interaksi
sosial.
Masalah dalam hubungan
interpersonal, sosial, penghindaran terhadap rangsangan.
k) Penyuluhan.
Penyuluhan atau
pembelajaran berhubungan dengan faktor resiko timbulnya.Kejang yang berulang, penanganan
dan hal yang harus dilaporkan.
4. Pemeriksaan
a. Sistem
pernapasan: dyspnea, aspiksia dan sianosis akibat kontraksi otot pernapasan.
b. Sistem
kardiovaskuler: disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh
awal 38-40oC, terminal 43-44oC.
c. Sistem
neurologis: awalnya iritabiliti, kelemahan, dan akhirnya konvulsi, kelumpuhan 1
atau beberapa saraf otak.
d. Sistem
perkemihan: retensi urin (distensi kandung kemih dan urin output tidak
ada/oliguria).
e. Sistem
pencernaan: konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.
f. Sistem
integument dan muskuluskeletal: pada awalnya didahului trismus, spasme otot
muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, nyeri kesemutan tempat luka,
berkeringat (hiperhidrasi), otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal
ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
5. Pemeriksaan
Penunjang
a. Laboratorium:
leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman.
b. Pemeriksaan
ECG: dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler.
c. Elektrolit:
tidak seimbang sebagai pencetus kejang.
d. Glukosa:
hipoglikemia sebagai pencetus kejang.
e. Ureum
atau kreatinin: peningkatannya dapat meningkatkan resiko kejang.
II.2. DIAGNOSA
1. Bersihan
jalan napas tidak efektif berhubunga dengan adanya secret dalam trakea,
kemampuan batuk menurun.
2. Peningkatan
suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin di jaringan
otak.
3. Resiko
tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil).
4. Resiko
gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubngan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus.
5. Resiko
cedera yang berhubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan
penurunan tingkat kesadaran.
6. Ganggguan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan adanya kejang berulang.
7. Gangguan
ADL yang berhubungan dengan adanya kejang umum dan kelemahan fisik.
8. Gangguan
pemenuhan eliminasi urin dan alvi yang berhubunga dengan adanya spasme pada
abdomen.
9. Koping
tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis penyakit yang tidak jelas.
10.Cemas
yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang.
II.3. INTERVENSI
1.
Bersihan
jalan napas tidak efektif yang berhubunga dengan adanya secret dalam trakea,
kemampuan batuk menurun.
Tujuan:
dalam waktu 3x24 jam setela diberikan tindakan bersihan jalan napas kembali
efektif.
Kriteria Hasil:
- klien
tidak mengeluh sesak napas lagi.
- RR
normal, 16-20 kali/menit.
- Tidak
menggunakan alat bantu napas.
- Dapat
mendemonstrasikan cara batuk efektif.
- Diharapkan
bunyi paru normal (vesikuler)
Intervensi:
1. Kaji
fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot aksesori, warna, dan kekentalan sputum.
Rasional: memantau dan
mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian dungsi pernapasan dengan interval
yang teratur adalah penting karena pernapasan yang tidak efektif dan adanya
kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostalis
dan diafragma yang berkembang dengan cepat.
2. Atur
posisi fowler dan semi-fowler.
Rasional: peninggian
kepala tempat tidur memudahkan pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih efektif.
3. Ajarkan
cara batuk efektif.
Rasional: klien berada
pada resiko tinggi bila tidak dapat batuk efektif untuk memebersihkan jalan
napas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang dapat menyebabkan aspirasi
saliva, dan mencetuskan gagal napas akut.
4. Lakukan
fisioterapi dada: vibrasi dada.
Rasional: terapi fisik
dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif.
5. Penuhi
hidrasi cairan oral seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2500
ml/hari.
Rasional: pemenuhan
cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan
yang banyak keluar dari tubuh.
6. Lakukan
pengisapan lendir di jalan napas.
Rasional: pengisapan
mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan napas menjadi bersih.
7. Berikan
oksigen sesuai klinis.
Rasional: pemenuhan
oksigen terutama pada klien tetanus dengan laju metabolisme yang tinggi.
2.
Peningkatan
suhu tubuh yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksik di jaringan
otak.
Tujuan: dalam waktu 3x24
jam peningkatan suhu tubuh menurun,
Kriteria hasil: suhu
tubuh normal 36-37oC.
Intervensi:
1. Monitor
suhu tubuh klien.
Rasional: peningkatan
suhu tubuh menjadi stimulus rangsang kejang.
2. Beri
kompres dingin di kepala dan aksila.
Rasional: memberikan
respon dingin pada pusat pengatur panas dan pada pembuluh darah besar.
3. Pertahankan
bed rest total selama fase akut.
Rasional: mengurangi
peningkatan proses metabolism umum yang terjadi pada klien tetanus.
4. Kolaborasi
pemberian terapi: ATS dan antimikroba.
Rasional: ATS dapat
mengurangi dampak toksin tetanus di jaringan otak dan antimoikroba dapat
mengurangi inflamasi sekunder dari toksin.
3.
Resiko
tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang.
Tujuan: dalam waktu
3x24 jam resiko kejang berulang tidak terjadi.
Kriteria hasil: klien
tidak mengalami kejang.
Intervensi:
1. Kaji
stimulus kejang.
Rasional: stimulus
kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu tubuh.
2. Hindarkan
stimulus cahaya, kalau perlu klien ditempatkan pada ruangan dengan pencahayaan
yang kurang.
Rasional: penurunan
rangsang cahaya dapat membantu menurunkan stimulus rangsang kejang.
3. Pertahankan
bed rest total selama fase akut.
Rasional: mengurangi
resiko jatuh jika vertigo, dan ataksia terjadi.
4. Kolaborasi
pemberian terapi: diazepam, penobarbital.
Rasional: untuk
mencegah atau mengurangi kejang.
4.
Resiko
gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan kejang abdomen, trismus.
Tujuan: dalam waktu
3x24 jam nutrisi klien terpenuhi.
Krtiteria hasil: tidak
adanya tanda malnutrisi dengan nilai laboratorium dalam batas normal.
Intervensi:
1. Kaji
kemampuan klien dalam menelan, batuk dan adanya secret.
Rasional: faktor-faktor
tersebut menentukan kemampuan menelan klien dan klien harus dilindungi dari
resiko aspirasi.
2. Berikan
pengertian tentang pentingnya nutrisi.
Rasional: agar
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
3. Auskultasi
bowel sounds, amati penurunan atau
hiperaktivitas suara bowel.
Rasional: fungsi
gastrointestinal tergantung pula pada kerusakan otak, bowel sounds menentukan respon terjadinya komplikasi, misalnya
ileus.
4. Timbang
berat badan sesuai indikasi.
Rasional: untuk
mengevaluasi efektifitas dari asupan makanan.
5. Berikan
makanan dengan cara meninggikan kepala.
Rasional: menurunkan
resiko aspirasi.
6. Bila
klien sering kejang berikan makanan lewat NGT.
Rasional: pemenuhan
nutrisi dengan langsung memasukkan ke lambung akan menurunkan resiko aspirasi.
7. Pertahankan
lingkungan yang tenang dan anjurkan keluarga untuk memeberikan makanan pada
klien.
Rasional: membuat klien
merasa aman sehingga asupan dapat dipertahankan.
5.
Resiko
cedera berhubungan dengan adanya kejang.
Tujuan:
dalam waktu 3x24 jam klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan
penurunan kesadaran.
Kriteria hasil: klien
tidak mengalami cedera apabila kejang berulang.
Intervensi:
1. Monitor
kejang pada tangan, kaki, mulut, dan otot-otot muka lainnya.
Rasional: gambaran
tribalitas sistem saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi
yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
2. Persiapkan
lingkungan yang aman seperti batasan ranjang.
Rasional: mellindungi
klien bila kejang terjadi.
3. Pertahankan
bed rest total selama fase akut.
Rasional: mengurangi
resiko jatuh jika vertigo.
4. Kolaborasi
pemberian terapi, diazepam, phenobarbital.
Rasional:
untuk mencegah atau mengurangi kejang.
6.
Gangguan
mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang berulang.
Tujuan:
tidak terjadi kontrasktur, gangguan integritas kulit, footdrop, fungsi bowel dan bladder optimal, serta peningkatan
kemampuan fisik.
Kriteria hasil: skala
ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan minimal.
Intervensi:
1. Review
kemampuan fisik dan kerusakan yang terjadi.
Rasional:
mengidentifikasi kerusakan fungsi dan menentukan pilihan intervensi.
2. Kaji
tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan.
Rasional: tingkat
ketergantungan minimal care (hanya
memerlukan bantuan minimal), partial care
(memerlukan bantuan bagian), dan total
care (memerlukan bantuan total dari perawat).
3. Berikan
perubahan posisi yang teratur.
Rasional: perubahan
posisi teratur dapat mendistribusikan berat badan secara menyeluruh dan
memfasilitasi peredaran darah dan mencegah decubitus.
4. Berikan
latihan ROM pasif jika klien sudah bebas panas dan kejang.
Rasional: mencegah
terjadinya kontraktur serta mempercepat pengembalian fungsi tubuh.
5. Berikan
perawatan kulit secara adekuat, lakuakan massage, ganti pakaian klien dan
pertahankan tempat tidur dalam keadaan kering.
Rasional: memfasilitasi
sirkulasi dan mencegah gangguan integritas kulit.
6. Berikan
perawatan mata, bersihkan mata dan tutup dengan kapas yang basah sesekali.
Rasional: melindungi
mata dari kerusakan terbukanya mata terus-menerus.
7. Kaji
adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada area kulit.
Rasional: indikasi
adanya kerusakan kulit dan deteksi dini adanya decubitus pada area local yang
tertekan.
7.
Cemas
yang berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang berulang.
Tujuan: kecemasan hilang atau berkurang.
Kriteria
hasil: mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang
memengaruhinya, dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.
Intervensi:
1. Kaji
tanda verbal dan nonverbal kecemasan, damping klien dan lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak.
Rasional: reaksi
verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah, dan gelisah.
2. Jelaskan
sebab terjadinya kejang.
Rasional: memberikan
dasar konsep agar klien kooperatif terhadap tindakan untuk mengurangi kejang.
3. Mulai
melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan
suasana penuh istirahat.
Rasional: mengurangi
rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4. Tingkatkan
control sensasi klien.
Rasional: control
sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi
tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber
koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan
teknik-teknik pengalihan dan memberikan respons baik yang positif.
5. Orientasikan
klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
Rasional: orientasi
dapat menurunkan kecemasan.
6. Beri
kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan ansietasnya.
Rasional: dapat
menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak diekspresikan.
7. Berikan
privasi untuk klien dan orang terdekat.
Rasional: memberi waktu untuk
mengekspresikan perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya
keluarga dan teman-teman yang dipilih klien melayani aktivitas dan pengalihan
(misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.